Senin, 19 April 2010

MAKNA KOMUNIKASI NON VERBAL PADA ANAK TUNARUNGU

MAKNA KOMUNIKASI NON VERBAL PADA ANAK TUNARUNGU
(STUDY KASUS PADA SISWA SDLB KAB. BANGKALAN)

PROPOSAL PENELITIAN KUALITATIF



OLEH:
LAILIYAH HIDAYATI
070131100016



PRODI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS TRUNOJOYO
2010




BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Komunikasi merupakan satu-satunya cara untuk menyampaikan sebuah pesan yang akan disampaikan. Dunia semakin cepat berubah, dalam dua dasawarsa terakhir perkembangan teknologi sudah demikian pesatnya memberikan dampaknya yang menyentuh segala aspek kehidupan manusia. Salah satu hal yang berkembang sangat pesat dan menjadi pemicu dari perkembangan yang ada adalah komunikasi. Dalam perkembangan terakhir dimana dunia informasi menjadi sangat penting dalam aspek kehidupan, maka komunikasi akhirnya tidak dapat ditawar lagi dan menjadi bagian yang sangat penting dalam melengkapi kehidupan manusia. Metode, fasilitas dan perangkatnya pun sudah berkembang maju sedemikian modernnya sehingga sekarang dunia seakan tidak ada batas lagi, manusia dapat berhubungan satu-sama lain dengan begitu mudah dan cepatnya.
Komunikasi adalah sebuah proses interaksi untuk berhubungan dari satu pihak ke pihak lainnya, yang pada awalnya berlangsung sangat sederhana dimulai dengan sejumlah ide-ide yang abstrak atau pikiran dalam otak seseorang untuk mencari data atau menyampaikan informasi yang kemudian dikemas menjadi sebentuk pesan untuk kemudian disampaikan secara langsung maupun tidak langsung menggunakan bahasa berbentuk kode visual, kode suara, atau kode tulisan.
Komunikasi juga dibedakan menjadi dua, yaitu komunikasi verbal dan komunikasi non verbal. Komunikasi verbal merupakan proses komunikasi dimana pesan disampaikan dengan menggunakan kata-kata, begitu sebaliknya komunikasi non verbal merupakan proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Contoh komunikasi non verbal yaitu penggunaan expresi wajah marah ataupun bahagia tanpa menggunakan kata-kata.
Salah satu bentuk komunikasi yang banyak berpengaruh terhadap efektifitas pembicaraan adalah komunikasi non-verbal (tanpa kata). Adakalanya seseorang kurang memahami makna dan pengaruh komunikasi non-verbal terhadap suksesnya pembicaraan.
Komunikasi Antar Manusia, atau seringkali dalam beberapa literatur disebut Human Communication, merupakan kegiatan penyampaian informasi, berita, pesan, atau amanah dari seseorang kepada orang lain dengan harapan agar hal-hal yang diberitahukan itu dapat diterima, dimengerti, diikuti dan diaplikasikan, bahkan menjadi milik bersama antara sumber dan penerima.
Kegiatan komunikasi dilaksanakan dengan menggunakan lambang atau kode. Kode yang sebagian besar digunakan dalam komunikasi adalah kode yang diucapkan atau ditulis (kode yang berhubungan dengan penggunaan kata-kata). Tetapi sesungguhnya masih ada kode lain yang sangat penting peranannya dalam komunikasi, yaitu kode non-verbal, atau kode tanpa kata.
Sewaktu kita mengadakan pembicaraan dengan seseorang, cara yang terbaik yang dapat kita perbuat, ialah mencoba membangkitkan dengan perantaraan lambang-lambang lisan atau visual, dengan arti atau makna serta pengalaman-pengalaman yang sudah dimiliki oleh pendengar atau penerima. Hanya bunyi dan tanda-tanda yang dapat kita sampaikan. Karena setiap orang mempunyai suatu perbendaharaan tanda-tanda dan bunyi yang berlain-lainan, maka dengan mudah dapat kita pahami, bahwa tidak mungkin ada dua orang yang mempunyai arti-arti yang sama atau serupa betul.
Karena itu, apa yang dikeluarkan atau disampaikan seseorang sebagai suatu komunikasi, mungkin sekali sedikit berlainan, malah kadang-kadang jauh menyimpang bagi orang yang mendengarkan atau menerimanya. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh seseorang komunikator demi suksesnya komunikasi. Disini penulis akan meneliti tentang bentuk komunikasi non verbal yang digunakan atau sering diterapakan pada anak tunarungu. Meskipun anak tunarungu tidak dapat mendengar dan berbicara akan tetapi mereka mempunyai symbol untuk mengutarakan isi hatinya atau untuk menyampaikan pesan kepada orang lain dengan bahasa tubuhnya sendiri.



1.2 RUMUSAN MASALAH:
Berdasarkan latar belkang masalah di atas dirumuskan masalah berikut ini :
1. Makna komunikasi komunikasi non verbal apa yang terdapat pada anak tunarungu di SDLB Kab. Bangkalan?
2. Apa hambatan anak tunarungu di SDLB Kab. Bangkalan ketika menggunakan komunikasi non verbal?

1.3 TUJUAN PENELITIAN:
Tujuan diadakannya penulisan ini adalah untuk :
1. Untuk mengetahui cara anak tunarungu di SDLB Kab. Bangkalan berkomunikasi secara non verbal.
2. Untuk mengetahui hambatan anak tunarungu di SDLB Kab. Bangkalan ketika menggunakan komunikasi non verbal.

1.4 MANFAAT PENELITIAN
1. Untuk memahami bagaimana cara anak tunarungu berkomunikasi sesama anak tunarungu menggunakan komunikasi non verbal.
2. Memberi tambahan ilmu kepada masyarakat tentang komunikasi non verbal yang digunakan anak tunarungu di SDLB Kab. Bangkalan.
1.5 FOKUS PENELITIAN
Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan penelitiannya pada interaksi komunikasi non verbal guru dan murid atau murid dengan murid di SDLB Kab. Bangkalan.



BAB II
KERANGKA TEORI

2.1 KERANGKA TEORI
Teori Komunikasi David K.Berlo:
David K.Berlo, diketahui bahwa komunikasi terdiri dari 4 Proses Utama yaitu SMRC (Source, Message, Channel, dan Receiver) lalu ditambah 3 Proses sekunder, yaitu Feedback, Efek, dan Lingkungan.
1. Source (Sumber), Sumber adalah seseorang yang memberikan pesan atau dalam komunikasi dapat disebut sebagai komunikator. Walaupun sumber biasanya melibatkan individu, namun dalam hal ini sumberjuga melibatkan banyak individu. Misalnya, dalam organisasi, Partai, atau lembaga tertentu. Sumber juga sering dikatakan sebagai source, sender, atau encoder.
2. Message (Pesan), pesan adalah isi dari komunikasi yang memiliki nilai dan disampaikan oleh seseorang (komunikator). Pesan bersifat menghibur, informatif, edukatif, persuasif, dan juga bisa bersifat propaganda. Pesan disampaikan melalui 2 cara, yaitu Verbal dan Nonverbal. Bisa melalui tatap muka atau melalui sebuah media komunikasi. Pesan bisa dikatakan sebagai Message, Content, atau Information
3. Channel (Media dan saluran komunikasi), Sebuah saluran komunikasi terdiri atas 3 bagian. Lisan, Tertulis, dan Elektronik. Media disini adalah sebuah alat untuk mengirimkan pesan tersebut. Misal secara personal (komunikasi interpersonal), maka media komunikasi yang digunakan adalah panca indra atau bisa memakai media telepon, telegram, handphone, yang bersifat pribadi. Sedangkan komunikasi yang bersifat massa (komunikasi massa), dapat menggunakan media cetak (koran, suratkabar, majalah, dll) , dan media elektornik(TV, Radio). Untuk Internet, termasuk media yang fleksibel, karena bisa bersifat pribadi dan bisa bersifat massa. Karena, internet mencakup segalanya. Jika anda membuka www.kuliahkomunikasi.com < maka media ini bersifat massal, namun jika anda chattingh melalui yahoo messenger, maka media ini bersifat interpersonal, dan jika anda menuliskan Blog (blogging atau menulis diary), media ini bisa berubah menjadi media yang bersifat Intrapersonal (kepada diri sendiri).
4. Receiver (Penerima Pesan), Penerima adalah orang yang mendapatkan pesan dari komunikator melalui media. Penerima adalah elemen yang penting dalam menjalankan sebuah proses komunikasi. Karena, penerima menjadi sasaran dari komunikasi tersebut. Penerima dapat juga disebut sebagai public, khalayak, masyarakat, dll.
Elemen Tambahan :
1. Feedback (Umpan Balik), Umpan balik adalah suatu respon yang diberikan oleh penerima. Penerima disini bukan dimaksudkan kepada penerima sasaran (khalayak), namun juga bisa didapatkan dari media itu sendiri. Misal, kita sebagai seorang penulis mengirimkan sebuah artikel kepada suatu media massa. Lalu, bisa saja kita artikel kita ternyata bagus, namun ada beberapa hal yang harus di edit. Sehingga, pihak media mengembalikan artikel kita untuk di edit ulang.
2. Efek, sebuah komunikasi dapat menyebabkan efek tertentu. Efek komunikasi adalah sebuah respon pada diri sendiri yang bisa dirasakan ketika kita mengalami perubahan (baik itu negatif atau positif) setelah menerima pesan. Efek ini adalah sebuah pengaruh yang dapat mengubah pengetahuan, perasaan, dan perilaku (Kognitif, afektif, dan konatif)
3. Lingkungan, adalah sebuah situasi yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu komunikasi. Situasi Lingkungan terjadi karena adanya 4 faktor :
• Lingkungan Fisik(Letak Geografis dan Jarak)
• Lingkungan Sosial Budaya (Adat istiadat, bahasa, budaya, status sosial)
• Lingkungan Psikologis ( Pertimbangan Kejiwaan seseorang ketika menerima pesan)
• Dimensi Waktu (Musim, Pagi, Siang, dan Malam)
 Dalam komunikasi selalu ada tahapan yang dilalui, komunikasi non verbal maupun komunikasi verbal, dalam komunikasi non verbal pada anak tunarungu terjadi penyampaian pesan yang berbeda dengan cara berkomunikasi sebagaimana mestinya, pada teori ini menekankan cara penyampaian pesannya, pada anak tunarungu penyampaian pesannya menggunakan symbol-simbol yang telah dipelajari dalam komunikasi non verbal, alat yang dipakai adalah tangan dan jari jemari mereka.
Jika komunikan mengerti dengan apa yang mereka katakana amaka pesan disampaikan dengan baik tanpa adanya noise, asal penerima pesan bisa menggunakan symbol-simbol atau bahasa anak tunarungu.
Teori Komunikasi Bovee dan Thill:
Bovee dan Thill dalam bukunya Bussiness Communication Today, menjelaskan bahwa proses komunikasi merupakan tahapan dari kegiatan. Terdapat 5 tahapan :
1. Pengirim memiliki sebuah Ide/Gagasan. Komunikasi diawali dengan adanya gagasan dari seorang pengirim, yang ingin disampaikan pada penerima pesan tersebut.
2. Ide Dirubah Menjadi Pesan. Ide bersifat abstrak dan tidak terstruktur, sehingga tidak dapat dibaca oleh oraglain. Maka dari itu, pengirim harus mengubah idenya tersebut menjadi sebuah pesan agar dapat dimengerti oleh orang lain. Perubahan ide menjadi suatu pesan dinamakan ENCODING.
3. Pemindahan Pesan. Setelah sebuah ide diubah menjadi pesan, maka pesan teresebut harus dipidahkan kepada penerima dengan berbagai bentuk komunikasi (Verbal, Nonverbal, Lisan atau Tertulis), dan media komunikasinya (Tatap muka, telepon, surat, laporan, dll)
4. Penerima menerima pesan. Penerima pesan menginterpretasikan pesan yang diterima.
5. Penerima pesan mengirimkan umpan balik. Umpan balik merupakan sebuah elemen perantai pesan. Sebagai pengirim pesan, kita harus mengevaluasi apa yang sebenarnya dipikirkan oleh penerima pesan. Apakah pesan kita efektif apa tidak. Jika pesan kita ternyata tidak efektif, maka pesan harus diulang.
Teori Proksemik dari Hall
Menurut Hall, manusia dapat berkomunikasi dengan berbagaimacam cara, tidak hanya dengan bahasa verbal. Meskipun Hall juga mengakui peranan bahasa salam komunikasi, hanya bahasa yang memberikan peluang bagi pembentukan variasi-variasi komunikasi antarbudaya.
Namun kata Hall banyak kasus belum tentu semua konsep pesan dapat diwakili oleh kata-kata dalam bahasa verbal. Kebebasan manusia telah memungkinkan setiap kelompok budaya untuk menentukan bermacam-macam cara penyampaian pesan. Diantaranya melalaui “bahasa” jarak dan ruang antar tubuh di saat berkomunikasi. Proksemik adalah studi tentang sistematika keterlibatan seorang dalam struktur ruang, atau jarak antara manusia dalam pergaulan sehari-hari
. Definisi tersebut sekaligus menggambarkan bahwa studi tentang ruang atau jarak berkaitan erat dengan interaksi antarmanusia yang berlandaskan pada ciri-ciri budaya tertentu.
 Dengan adanya teori tersebut peneliti kemudian melakukan penelitian tentang komunikasi non verbal, karena komunikasi non verbal yang terjadi pada anak tunarungu berbeda sekali dengan komunikasi-komunikasi yang lainnya. Karena terdapat makna komunikasi yang terkandung dalam symbol-simbol komunikasi pada anak tunarungu.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambara Umum Tentang SDLB Kab. Bangkalan
4.1.1 Lokasi dan Lingkungan Sekitar
Sekolah Dasar Luar Biasa merupakan sekolah luar biasa khusus untuk anak-anak penyandang cacat tuna rungu, terletak di Jalan Trunojoyo (setelah pom bensin socah). Di sebelah Selatan kurang lebih 1 kilometer terdapat Kantor Bupati Bangkalan, SDLB ini berjarak kurang lebih 5 kilometer dari Universitas Trunojoyo. Jarak antara jalan raya sampai SDLB kurang lebih 1 meter, dan lokasi sekolah ini berdekatan dengan perumahan penduduk yang penduduknya lumayan padat. Gedung SDLB Kab. Bangkalan dan halaman depan terdapat pohon-pohonan yang rindang dan pagar tembok yang tingginya kira-kira dua meter. Halaman depan sekolah cukup luas untuk bermain-main anak-anak SDLB Kab. Bangkalan. SDLB Kab. Bangkalan berjajar dengan perempatan dan lingkungan sekitar perumahan penduduk.
4.1.2 Sejarah Singkat SDLB Kab. Bangkalan
SDLB Kab. Bangkalan berdiri pada tanggal 19 September 1969. Berdirinya SDLB Kab. Bangkalan berawal darikegiatan belajar mengajar yang terdiri dari anak-anak gelandangan yang bertempat di Kantor Sosial Kab. Bangkalan, seiring dengan berjalannya waktu SDLB Kab. Bangkalan juga menerima anak-anak cacat tuna rungu atau tuna wicara. Kegiatan belajar mengajar ini ditangani oleh guru SD sebanyak 5 orang yaitu: Bp Marsuki, Bp Subandi, Bapak Suparto, Ibu Ristamsi, dan Ibu Surtinah. Tanggal 12 Mei 1975 SDLB Kab. Bangkalan menempati gedung baru dengan sarana dan prasarana seadanya 1 gedung 3 ruang yaitu: satu untuk ruang kantor dan dua untuk ruang kelas. Maksud dan tujuan menempati gedung baru yaitu supaya dapat menyelenggarakan, membina dan mengembangkan pendidikan secara khusus bagi anak-anak yang mengalami hambatan belajar karena kurangnya daya dengar, sehingga mereka dapat menikmati kesempurnaan belajar. Tahap demi tahap yayasan mendapatkan bantuan sehingga dapat membangun gedung kelas dan gedung asrama, hingga keadaan sampai sekarang. Pelayanan pendidikan yang dilaksanakan yayasan adalah pelayanan pendidikan bagi anak-anak tuna rungu tingkat dasar, karena pada tahun tersebut banyak ditemukan anak-anak tuna rungu yang belum mendapatkan pendidikan khusus. Dengan harapan anak-anak tuna rungu yang belum mendapatkan pendidikan yang layak dapat dihimpun untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di yayasan tersebut. Seiring dengan dibukanya SDLB Kab. Bangkalan tersebut ada beberapa guru PLB yang melamar menjadi guru yayasan. Pada saat itu,meskipun termasuk sekolah baru, SDLB Kab. Bangkalan tidak mengalami kekurangan siswa maupun guru, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan dengan lancar seperti sekolah-sekolah pada umumnya. Semenjak mulai didirikan SDLB Kab. Bangkalan tersebut pihak yayasan bersama dengan tenaga edukatif mulai bekerja serius dan dibawah pimpinan Ibu Sri Sujiyanti yang menjabat sebagai Kepala Sekolah tidak henti-hentinya dan selalu memperjuangkan yayasan supaya tetep maju dan berkembang.
4.1.3 Kondisi Siswa SDLB Kab. Bangkalan
Siswa SDLB Kab. Bangkalan pada tahun pelajaran 2009/2010 berjumlah 22 orang dengan perincian sebagai berikut: kelas persiapanada lima orang, kelas 1 ada tiga orang, kelas 2 ada Enam orang, kelas 3 ada empat orang, kelas 4 ada lima orang, kelas 5 tidak ada, kelas 6 tidak ada. Secara lebih rinci keadaan siswa SDLB Kab. Bangkalan tahun pelajaran 2009/2010. Dari 23 anak, mereka berasal dari kota Bangkalan dengan kondisi perekonomian keluarga yang beraneka ragam dari pekerjaan orang tua bermacam-macam pula dari menengah ke bawah sampai menengah ke atas, dari buruh, pegawai, guru, pedagang, maupun wiraswasta. Ditinjau dari waktu terjadinya ketunarunguan, semua ketunarunguan siswa dialami sejak lahir. Hubungan dengan guru, dengan teman tampak sangat baik. Mereka sangat menghormati dan menghargai guru, disiplin dalam berpakaian, dan mau bekerja sama dengan teman, baik pada waktu kegiatan belajar di kelas maupun kegiatan di luar kelas. Hal tersebut terlihat pada saat bertemu dengan guru atau tamu, mereka selalu memberi salam dan berjabat tangan. Berpakaian seragam lengkap dengan atributnya, ikat pinggang, kaos kaki, serta sepatu hitam. Bagi siswa yang telah menamatkan pendidikan di SDLB Kab. Bangkalan dapat melanjutkan pendidikannya di SLTPLB atau sekolah-sekolah terpadu.


4.1.4 Kondisi Guru SDLB Kab. Bangkalan
Tenaga pengajar di SDLB Kab. Bangkalan berjumlah delapan orang,terdiri dari seorang kepala sekolah, empat guru DPK artinya guru PNS yang diperbantukan di SDLB Kab. Bangkalan, dan tiga guru yang diangkat oleh yayasan. Tiga orang guru SDLB Kab. Bangkalan berpendidikan SGPLB-B, tiga orang lagi berpendidikan S1-PKH, dan dua orang berpendidikan SGPLB-C. Hubungan antara guru sangatlah akrab dan penuh kekeluargaan. Mereka sangat ramah dan senang membantu termasuk membantu penulis dalam mengumpulkan data. Sistem pembelajaran yang ditetapkan di SDLB Kab. Bangkalan dengan menggunakan sistem guru kelas. Setiap guru mengajarkan semua mata pelajaran untuk kelasnya, kecuali mata pelajaran olah raga, agama, seni tari. Mata pelajaran olah raga diampu oleh guru bidang studi olah raga yaitu Mulyanto S.Pd. sedangkan mata pelajaran agama diampu oleh Ida Susanti, sedangkan mata pelajaran seni tari diampu oleh Anik Sulistyowati.
4.1.5 Prestasi yang Pernah Diraih
Kecacatan bukanlah suatu halangan untuk meraih prestasi tetapi justru mendorong
dan memacu untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Prestasi yang pernah diraih SDLB Kab. Bangkalan selama tiga tahun terakhir di bidang olah raga, patut dibanggakan karena mereka tidak kalah dengan anak-anak normal. Setiap lomba mereka tidak mau kalah, olah raga tenis meja yang paling menonjol dan disegani lawan. Keberhasilan ini tidak semata-mata dari anak-anak tetapi juga berkat dedikasi guru yang membimbing dengan sabar, dukungan orang tua dan sarana dan prasarana yang sangat mendukung.
4.1.6 Peraturan dan Tata Tertib Sekolah
Tata tertib yang diberlakukan di sekolah diperuntukkan bagi siswa dan guru supaya proses belajar mengajar dapat tercapai semaksimal mungkin. Kelas persiapan sampai tingkat dasar, hari Senin s.d. Kamis pembelajaran berlangsung antara pukul 07.30- 12.00 WIB, hari Jum’at pukul 07.30- 11.00 WIB, dan hari Sabtu pukul 07.30-10.00 WIB. Siswa harus sudah datang sebelum pelajaran dimulai. Siswa persiapan sampai kelas tingkat dasar, pada hari Senin dan Selasa mereka memakai seragam merah putih, hari Rabu dan Kamis memakai seragam dari yayasan, sedangkan hari Jum’at dan Sabtu memakai seragam pramuka. Selama proses belajar mengajar siswa tidak diperkenankan keluar ruangan kelas atau berada di luar kelas. Istirahat ada dua kali yaitu istirahat pertama pukul 09.15- 09.30 WIB dan istirahat kedua pukul 11.00- 11.15 WIB. Selama istirahat siswa hanya boleh jajan di sekitar sekolah dan itu dalam pengawasan guru. Jadwal pelajaran tari dilaksanakan pada hari Jum’at 09.00- 10.30 WIB dan itu diikuti dari kelas persiapan dan tingkat dasar. Setiap hari Senin dan hari-hari peringatan nasional, sekolah mengadakan upacara bendera yang wajib diikuti oleh guru dan siswa, dengan petugas para siswa. Para guru juga diberlakukan aturan yang sama dengan para siswa. Para guru diharuskan memakai seragam. Sepuluh menit sebelum pelajaran dimulai guru harus sudah datang.
4.2 Makna Komunikasi Non Verbal Pada Anak Tunarungu
4.2.1 Komunikasi Non Verbal
Komunikasi Non Verbal adalah penciptaan dan pertukaran pesan dengan tidak menggunakan kata-kata, komunikasi ini menggunakan gerakan tubuh, sikap tubuh, intonasi nada (tinggi-rendahnya nada), kontak mata, ekspresi muka, kedekatan jarak dan sentuhan-sentuhan. Komunikasi non Verbal mempunyai kekuatan yang penting untuk menyampaikan pesan-pesan. Khususnya dalam penelitian yang penulis teliti di lapangan bertempat di SDLB Kab. Bangkalan, komunikasi non verbal sangat penting bagi anak penyandang cacat tuna rungu khususnya di SDLB Kab. Bangkalan. Komunikasi non verbal bagi anak tunarungu mempunyai banyak arti. Dalam konteks tersebut komunikasi non verbal bisa dilakukan dengan isyarat jari, ekspresi wajah, gerakan tangan serta bahasa tubuh dan masih banyak komunikasi non verbal lainnya yang sering digunakan anak penyandang cacat tunarungu.
Salah satu cara mendefinisikan komunikasi non verbal adalah berdasarkan kategori sebagai berikut:
a.Proksemik
Proksemik merupakan penyampaikan pesan-pesan melalui pengaturan jarak dan ruang. Manusia mempunyai wilayah-wilayah atau zona dalam berkomunikasi, wilayah juga berarti daerah atau ruang yang rang klaim sebagai miliknya, yang seolah-olah merupakan perluasan dari tubuhnya,
b.Kinesik
Kinesik merupakan penyampaikan pesan-pesan yang menggunakan gerakan gerakan tubuh yang berarti yang meliputi mimik wajah, mata (lirikan-lirikan), gerakan-gerakan tangan dan yang terakhir keseluruhan anggota badan (tegap, lemah gemulai dan sebagainya). Dalam budaya jawa komunikasi non verbal sangat kental dilakukan terutama untuk menghormati orang, atau orang yang lebih tua, semisal gerakan komunikasi yang dilakukan antara atasan dan bawahan atau abdi di mana bawahan atau abdi cenderung untuk menunduk dan merunduk untuk menunjukkan bahwa posisinya tidak lebih tinggi dari tuannya yang diajak bicara.
c. Khronemik
Khronemik adalah srudi mengenai penggunaan kita akan konteks waktu. Ide mengenai kelinearan waktu telah diterima secara luas oleh masyarakat manapun bahkan agama manapun, hal ini kemudian melahirkan beberapa istilah sepertti masa lalu, saat ini dan masa depan yang merupakan suatu urutan yang tidak dapat dibalik.
4.2.2 Tunarungu
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah: Gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB), Gangguan pendengaran ringan(41-55dB), Gangguan pendengaran sedang(56-70dB), Gangguan pendengaran berat(71-90dB), Gangguan pendengaran ekstrim/tuli(di atas 91dB). Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. saat ini dibeberapa sekolah sedang dikembangkan komunikasi total yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak. Anak dengan gangguan pendengaran (tuna rungu) seringkali menimbulkan masalah tersendiri. Menurut Mangunsong, ( 1998 : 66 ) yang dimaksud dengan ”anak tuna rungu adalah mereka yang
pendengarannya tidak berfungsi sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan luar biasa”. Menurut Moores (1987) dalam Mangunsong, (1998 : 68) ”ketunarunguan adalah kondisi dimana individu tidak mampu mendengar dan hal ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyian, baik dengan derajat frekuensi dan intensitas”. Secara khusus ketulian didefinisikan sebagai gangguan pendengaran yang sangat parah sehingga anak mengalami kesulitan dalam memproses informasi bahasa melalui pendengaran, dengan atau tanpa alat bantu, sehingga berpengaruh pada prestasi pendidikan. Menurut Mangunsong, (1998 : 68 - 69) berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran yang ditunjukkan dalam satuan desibel (dB), tuna rungu dibagi dalam lima kelompok berikut :
Kelompok 1 : Hilangnya pendengaran yang ringan ( 20 – 30 dB). Orang-orang yang kehilangan pendengaran sebesar ini mampu berkomunikasi dengan menggunakan pendengarannya. Gangguan ini merupakan ambang batas (borderline) antara orang yang sulit mendengar dengan orang normal.
Kelompok 2 : Hilangnya pendengaran yang marginal ( 30 – 40 dB).
Orang-orang dengan gangguan ini sering mengalami kesulitan untuk mengikuti suatu pembicaraan pada jarak beberapa meter. Pada kelompok ini, orang-orang masih bisa menggunakan telinganya untuk mendengar namun harus dilatih.
Kelompok 3 : Hilangnya pendengaran yang sedang ( 40 – 60 dB). Dengan bantuan alat bantu dengar dan bantuan mata, orang-orang ini masih bisa belajar berbicara dengan mengandalkan alat-alat pendengaran.
Kelompok 4 : Hilangnya pendengaran yang berat ( 60 – 75 dB ). Orang –orang ini tidak bisa belajar berbicara tanpa menggunakan teknik-teknik khusus. Pada gangguan ini mereka sudah dianggap sebaga tulis secara edukatif. Mereka berada pada ambang batas sulit mendengar dengan tuli.
Kelompok 5 : Hilangnya pendengaran yang parah ( > 75 dB). Orangorang yang dalam kelompok ini tidak bisa belajar bahasa hanya sematamata dengan mengandalkan telinga. Meskipun didukung dengan akal bantu dengar sekalipun. Menurut pembagian tingkat kehilangan pendengaran tersebut di atas, kelompok 1, 2 dan 3 tergolong sulit mendengar. Sedangkan kelompok 4 dan 5 tergolong tuli.
Berdasar uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa anak tuna rungu adalah individu yang mengalami gangguan pendengaran dan hal ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyian, baik dengan derajat frekuensi dan intensitas sehingga anak mengalami kesulitan dalam memproses informasi bahasa melalui pendengaran, dengan atau tanpa alat bantu.


Tanda-tanda peringatan kemungkinan tunarungu [1]:
Kurang perhatian
Perkembangan bicara yang kurang
Kesulitan mengikuti instruksi
Menanggapi lebih baik pada pekerjaan tugas ketika guru tersebut cukup dekat dengan si anak atau lebih baik pada tugas menulis daripada tugas lain yang memerlukan respons secara lisan
Anak mengamati apa yang sedang dilakukan teman lainnya sebelum mulai pekerjaannya sendiri [mencari petunjuk]
Meminta temannya dan guru untuk berbicara lebih keras
Menjawab tidak tepat atau gagal untuk menjawab
Anak mungkin kelihatan malu, menarik diri atau terlihat keras kepala dan tidak menurut
Menolak untuk berpartisipasi dalam aktivitas lisan, tidak tertawa terhadap lelucon
Sering mengeluh sakit telinga, pilek, radang tenggorokan

► Oleh karena anak penyandang cacat tuna rungu tidak bisa bicara dan mendengar mereka menggunakan komunikasi non verbal, komunikasi non verbal dipelajari dan diajarkan di SDLB Kab. Bangkalan. Seperti halnya Isyarat Jari, dalam isyarat jari ada simbol dan arti tertentu. Isyarat jari itulah bahasa non verbal yang digunakan dalam penyampaian pesan penyandang cacat tunarungu. Mengajar anak dengan dan tanpa tunarungu di kelas yang sama sering kali menjadi satu cara masyarakat dalam mendidik anak tunarungu. Akan tetapi penulis sangat kagum dan salut terhadap kegigihan dan semangat yang tinggi oleh siswa SDLB Kab. Bangkalan. Meskipun mereka menyandang cacat tapi untuk belajar mereka tidak mau kalah dengan yang lain. Maka dari itu pemerintah harus lebih memperhatikan keberadaan SDLB Kab. Bangkalan yang di dalamnya terdapat tunas-tunas bangsa yang siap memajukan bangsa ini. Maka dari itu awal atau dasar dari anak tunarungu adalah bahasa komunikasi non verbal. Penting juga mempersiapkan yang lainnya di sekolah seperti para guru dan murid lainnya tentang tunarungu dan tentang bagaimana cara anak ini belajar adalah dengan melihat sebaik-baiknya. Dengan cara ini semua orang di sekolah dapat bersiap menyambut anak-anak tunarungu. SDLB Kab. Bangkalan mengajarkan bahasa isyarat kepada semua orang dengan demikian anak tunarungu tidak ada yang tertinggal.
 

Contoh Huruf-huruf Isyarat


 
Bilangan Sign Language Alphabet:
Hereunder figures of numerical characters: Bawah angka karakter numerik:

Sign Language Alphabet Numbers Sign Language Alphabet Numbers
Numbers: Bilangan:


Sign Language Alphabet: Sign Language Alphabet:
Hereunder figures of alphabetical characters: Bawah angka karakter abjad:


Sign Language Alphabet
Isyarat jari diatas seringkali digunakan oleh siswa SDLB Kab. Bangkalan ketika berkomunikasi dengan teman maupun guru-guru disana. Akan tetapi isyarat tersebut tidak sembarang isyarat, isyarat jari tersebut juga biasanya di artikulasikan oleh penyandang tuna rungu. Artikulasi merupakan proses penyesuaian ruangan supraglottal yang tujuannya untuk memodifikasi bunyi suara laryngeal menjadi suara bicara. Penyesuaian ruangan didaerah laring terjadi dengan menaikkan dan menurunkan laring,mengatur jumlah transmisi udara melalui rongga mulut dan rongga hidung melalui katup velofaringeal dan merubah posisi mandibula (rahang bawah) dan lidah. Proses diatas yang akan menghasilkan bunyi dasar dalam berbicara.
Sebagaimana kita tahu bahwa anak-anak yang mengalami keterlambatan bicara (spt:tunarungu, afasia perkembangan, autisma, dsb) tentunya akan mengalami kegagalan dalam berartikulasi. Hal ini disebabkan oleh keterlambatan maturasi organ artikulasi, maka untuk mencapai kemampuan artikulasi yang baik diperlukan oral motor exercise terlebih dahulu. Latihan oral motor bertujuan untuk menguatkan otot-otot organ artikulasi.
Setelah kita melakukan stimulasi oral motor maka kita mulai melakukan produksi suara/bunyi vocal, suku kata, kata dst melalui sensor auditory,visual dan taktil kinestetik.
Ditinjau dari bidang fonologi bahasa dikelompokan atas vocal(vokoid) dan bunyi konsonan (kontoid).Dalam bahasa Indonesia bunyi vocal terbagi atas 6 bunyi yaitu /a/,/i/,/u/,/e/,/o/,dan /?/ .Sedangkan bunyi konsonan ditentukan oleh cara pengucapan (manner of articulation) dan titik pengucapan (point of articulation). Ditinjau dari cara pengucapan,bunyi konsonan digolongkan dalam :
1.Konsonan plosif : /t/,/d/,/p/,/b/,/k/,/g/
2.Konsonan frikatif : /f/,/s/,/z/
3.Konsonan afrikat : /c/,/j/
4.Konsonan getar : /r/
5.Konsonan nasal :/n/
6.Konsonan semi-vokal : /w/
7.Konsonan lateral : /l/
Berdasarkan titik artikulasi,bunyi konsonan digolongkan menjadi :
1.Konsonan bilabial : /p/,/b/,/m/
2.Konsonan labio dental : /f/,/v/,/w/
3.Konsonan apiko dental : /t/
4.Konsonan apiko alveolar : /n/,/l/,/r/
5.Konsonan apiko palatal : /d/
6.Konsonan lamino alveolar : /s/,/z/
7.Konsonan medio palatal : /c/,/g/,/ny/
8.Konsonan dorso velar : /k/,/g/,/ng/,/x/

Tidak semua anak tuna rungu memakai ABD dan kemampuan mendengar dengan ABD sendiri berbeda tergantung dari tingkat gangguan pendengaran dan latihan mendengar yang diiukuti. Untuk memperbaiki bicara anak perlu dilakukan latihan artikulasi dimana tidak semua sekolah memasukkan dalam salah satu mata pelajarannya. Pada latihan artikulasi anak belajar secara individu di ruangan khusus dengan satu orang guru artikulasi. Lama waktu belajar sekitar 20-30 menit setiap harinya. Setiap anakpun berbeda berdasarkan kemampuan intelejensinya. Pada buku Pembinaan Bahasa Anak Tuli dengan sistem 350 kata, terdapat cara untuk mengajar artikulasi. Bisa kita pakai untuk mengajarkan kepada anak kita di rumah sebagai kesinambungan dengan pelajaran yang di berikan di sekolah. Anak belajar tidak hanya di sekolah sebagai tanggung jawab guru, akan lebih baik jika di rumah pun belajar lebih mengeksplorasi kemampuan anak.
Bahan Pelajaran Artikulasi dari buku Pembinaan Bahasa anak Tuli :
Pada umumnya bagi anak tuna rungu suara ujaran vocal lebih mudah diucapkan daripada konsonan. Sebagai latihan pertama diberikan latihan senam mulut (mouth-training). Anak disuruh meniru mengucapkan vocal dasar berturut-turut, yaitu a/i/u/e/o berulang tanpa terputus. Vokal a yang paling mudah diucapkan sehingga diajarkan yang pertama kali. Untuk anak yang dapat mendengar mereka akan meniru dengan mengeluarkan suara a, bagi yang tidak di Bantu dengan menggetarkan pita suaranya. Tangan anak diletakkan pada leher kita untuk mengetahui bahwa ada getaran di situ. Setelah itu huruf vokal selanjutnya.
Untuk konsonan ada pembagian beberapa karakter berdasarkan asal keluarnya huruf
- konsonan bilabial (p/b/m) merupakan konsonan bibir, cara melatihnya usahakanlah agar konsonan itu tempatnya berubah-ubah dari di muka-di tengah-di belakang
contoh : p papa apa map

b babi aba bab
m mama oma bom
- konsonan dental (t/d/n) seperti halnya bilabial, cara melatihnya pun dengan pola yang sama
- konsonan langit-langit lembut (k,g,ng) konsonan bilabial dan dental cara melafalkannya dapat terlihat langsung oleh anak. Konsonan langit-langit lembut sukar dilihat, oleh karena itu perlu kita beri petunjukuntuk memudahkan anak dalam meniru mengucapkannya. Mulai dari pembentukkan ng dengan mempergunakan m sebagai alat yang sudah dikenal. Selagi m diucapkan bukalah bibir dan rahang anak perlahan. Untuk g dan k agak sulit untuk mengatasinya biarkanlah sementara waktu sehingga k nya lancar di ucapkan. Untuk menyuarakan g, berilah latihan vocal, konsonan, vocal berkali kali Contoh : a k a (a g a) Kaki kakak kaku Gigi gaga gugu Gigi tang nganga Walaupun telah belajar artikulasi belum dapat dijamin bahwa anak tentu betul mengucapkannya. Perlu di ingat, bahwa anak tetap tuli/kurang pendengaran, Mereka tidak mempunyai control untuk ucapannya sendiri. Lebih lagi dalam membaca kalimat yang panjang, ucapannya dapat lebih kabur lagi. Maka satu-satunya jalan ialah, segala sesuatu harus selalu diulang. Makin banyak diulang, makin lebih baik.
4.3 Hambatan Anak Tuna Rungu di SDLB Kab. Bangkalan ketika menggunakan komunikasi non verbal
Dari hasil pengamatan dan hasil wawancara dalam penelitian ini peneliti sengaja mengambil permasalahan tentang Hambatan Anak Tuna Rungu di SDLB Kab. Bangkalan ketika menggunakan komunikasi non verbal. Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti mengadakan wawancara kepada Kepala Sekolah, guru bidang studi, dan orang tua siswa masingmasing. Di sekolah tersebut ada mata pelajaran yang memberikan pengajaran tentang Isyarat Jari juga sering diajarkan, bahkan mungkin setiap hari. Dari Ibu Kepala Sekolah sangat antusias dan senang kalau peneliti terjun langsung melihat cara guru mengajar di SDLB Kab. Bangkalan. Penulis juga melakukan awancara dengan orang tua siswa merasa terharu dan bangga anaknya bisa mengikuti pelajaran dengan seperti halnya anak normal. Dari hasil wawancara langsung peneliti dengan siswa, sebagian suka dengan pelajaran yang menerangkan bahasa isyarat akan tetapi penerapannya agak susah karena. Motivasi dan kesabaran sangat diutamakan dalam pembelajaran bahasa Isyarat bagi anak cacat yaitu siswa SDLB Kab. Bangkalan. Motivasi terus diberikan hal ini sebagai pendorong minat siswa dalam mempelajari isyarat jari. Kesabaran seorang guru dalam membimbing siswa akan lebih memberi nilai arti lebih bagi diri siswa untuk tidak malu dan mampu memperlihatkan dirinya tidak kalah dengan yang normal. Dukungan guru-guru lain dan Kepala Sekolah menambah keberanian siswa dalam berlatih. Dorongan dan kasih sayang orang tua yang selalu mengiringi anaknya menatap masa depan. Kemampuan guru dalam meggunakan metode mengajar yaitu dengan cara mengkombinasikan beberapa metode yang tepat dan sesuai dengan materi yang dapat mendukung dalam proses belajar mengajar. Keberhasilan dalam melaksanakan suatu pengajaran sebagian besar ditentukan oleh pilihan bahan dan pemakaian metode yang tepat, penggunaan metode yang tepat dan sesuai tersebut dikarenakan pengalaman guru yang lebih dari 15 tahun dalam kegiatan mengajar di SDLB.Kesulitan belajar bagi siswa yang kurang karena kecacatan yang jelas terlihat yaitu tuna rungu, sehingga siswa terhambat dalam pendengaran. Kesulitan guru pun juga tampak karena guru sudah menyampaikan materi tapi siswa belum tentu bisa menangkap apa yang diajarkan guru, karena terhambat dalam pendengaran. Oleh karena itu, guru harus menggunakan bahasa isyarat sebagai bahasa komunikasi atau penyampaian materi, akan tetapi sebagian kecil siswa SDLB Kab. Bangkalan susah untuk menerapkan isyarat jari. Dalam hal ini peneliti
terjun langsung melihat cara guru mengajar Sragen. Kesulitan guru dalam mengajar tari terlihat jelas misalnya: denganjelas siswa yang diajar adalah anak-anak cacat tuna rungu maka dalam menerima pelajaran tidak bisa menangkap dengan cepat karena siswa terhambat dalam pendengaran, jadi dalam penyampaian materi guru harus mengulang-ulang materi yang disampaikan ke siswa sampai siswa benar-benar bisa. Siswa yang sulit menerima pelajaran, maka guru itu pun juga ikut sulit dalam menyampaikan materi, dalam penyampaian materi guru memberi contoh di depan dan siswa mengikuti, setelah itu guru baru memperbaiki gerakan anak satu persatu. Bagi anak yang cacat pendengarannya total maka guru harus sabar dan berulang-ulang mengajarnya karena materi yang disampaikan guru belum tentu anak itu langsung bisa menerima pelajaran. Kesulitan guru dalam menyampaikan materi adalah guru sudah melakukan semaksimal mungkin menyampaikan materi pelajaran,tetapi siswa tidak memperhatikan maka guru
harus mengulang lagi pelajaran itu. Kesulitan mengajar bagi guru merupakan suatu tantangan dalam menyampaikan materi supaya anak tetap mau menghafal isyarat jari yang diajarkan demi terciptanya komunikasi yang lancar antara guru dan murid. Penyandang cacat fisik pada umumnya juga banyak menghadapi tantangan yang berat daripada orang normal, karena penyandang cacat fisik mau tidak mau harus menyesuaikan diri terhadap kecacatan yang dialaminya. Kesulitan dan hambatan sangat dirasakan bagi anak yang cacat. Sulit menyesuaikan diri, sulit berteman dan sulit menerima pelajaran. Kesulitan guru dalam mengajar dapat diatasi dengan kesabaran dan
memberi contoh berulang-ulang dan memberi dorongan atau sanjungan kepada siswa, begitu pula bagi siswa, siswa bersemangat atau percaya diri bila orang-orang terdekatnya memberikan dorongan atau support.

















BAB V
PENUTUP

5.1Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan, penulis dapat menarik simpulan sebagai berikut :
5.1.1 Makna Komunikasi Non Verbal pada anak tuna rungu meliputi tujuan, materi dan bahan, metode, media, dan evaluasi.
5.1.2 Kesulitan yang dialami oleh guru dalam di SDLB Kab. Bangkalan meliputi:
a. Siswa tidak memperhatikan pelajaran karena daya dengar siswa yang kurang. Oleh karena itu, pmbelajaran tidak dapat berjalan secara efektif.
b. Para siswa juga sangat lambat dalam menerapkan komunikasi non verbal dalam bahasa menggunakan isyarat jari, akan tetapi para guru di SDLB Kab. Bangkalan tetap semangat memberi motivasi..
5.1.3 Makna Komunikasi non verbal pada anak tuna rungu ( study kasus siswa SDLB kab. Bangkalan) sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari agar para siswa dapat berkomunikasi dengan lancar.
5.1.4 Komunikasi non verbal adalah bahasa utama para siswa SDLB Kab. Bangkalan untuk menyampaikan pesan pada komunikan.
5.1.5 Komunikasi non verbal adalah satu-satunya alat untuk mengantarkan para siswa di gerbang kesuksesan, nukan berarti mereka penyandang cacat tunarungu akan tetapi mereka tidak bisa sukses selayaknya orang normal. Malah sebaliknya banyak penyandang cacat sukses meraih masa depannya. Sebaiknya anak tunarungu selalu diberi motivasi dan semangat. Sebenarnya mereka itu sama seperti kita semua akan tetapi hanya ada salah satu organ tubuhnya yang tidak berfungsi dengan sempurna. Tetapi otak dan pikiran mereka sebenarnya sama.





5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan kesimpulan diatas maka peneliti mengajukan saran-saran sebagai berikut :
a. Bagi Orang Tua
Bagi orang tua yang memiliki penerimaan terhadap anak tuna rungu dalam kategori tinggi hendaknya tetap dipertahankan, sedangkan bila orang tua yang kurang dapat menerima anaknya diharapkan dapat peduli dan perhatian terhadap anaknya serta menyadari bahwa dirinya adalah orang tua dari anak tuna rungu, dengan demikian orang tua dapat bersikap realistis terhadap kecacatan anaknya sehingga lebih sabar dalam
menghadapi anaknya yang tuna rungu. Serta lebih giat dan berusaha keras untuk mengajarkan komunikasi non verbal ketika di rumah. Jadi bukan hanya guru saja yang berperan aktif, sebaliknya orang tua juga harus ikut berperan aktif dalam membantu siswa SDLB memahami makna komunikasi non verbal.
b. Bagi Anak Tuna Rungu
Anak tuna rungu yang telah mampu menerapkan komunikasi non verbal dalam bahasa sehari-hari harus lebih semangat lagi dalam memahami serta menerapkannya.
c. Bagi Guru
Guru tidak hanya mengajar, akan tetapi juga memahami arti pentingnya makna komunikasi non verbal pada anak tunarungu di sekolah. Guru juga secara bertahap memberikan wawasan kepada orang tua tentang pentingnya penerimaan orang tua yang memiliki anak tuna rungu dalam proses pembelajaran komunikasi non verbal..
d. Bagi Peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengembangkan penelitian yang sejenis, disarankan untuk mengacu pada jumlah sampel yang lebih besar dan mengkaji mengenai faktor-faktor lain yang mempengaruhi penyesuaian diri anak tuna rungu di sekolah, serta penggunakan bahasa non verbal sebagai bahasa sehari-hari















BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 JENIS PENELITIAN
Penelitian merupakan suatu proses yang panjang. Berawal dari minat untuk mengetahui fenomena tertentu dan selanjutnya berkembang menjadi gagasan, teori, konseptualisasi, pemilihan metode penelitian yang sesuai dan seterusnya ( effendi, 1987: 12 )
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Pada umumnya alas an menggunakan metode kualitatif karena permasalahan belum jelas, holistic, kompleks, dinamis dan penuh makna sehingga tidak mungkin data pada situasi social tersebut dijaring.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif yaitu suatu jenis penelitian yang akan hanya meluruskan keadaan obyek persoalan dan tidak dimaksudkan untuk mengambil kesimpulan yang berlaku umum.
3.2 OBYEK PENELITIAN
Obyek penelitian dalam penelitian ini adalah SDLB Kab. Bangkalan.
3.3 INSTRUMENT PENELITIAN
Dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrument utama adalah peneliti sendiri.
3.4 TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data kualitatif paling utama adalah observasi participant, wawancara mendalam studi dokumentasi ( in- depth interview ), dan gabungan ketiganya atau triangulasi.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode wawancara mendalam studi dokumentasi yaitu proses melakukan tanya jawab terhadap narasumber sambil bertatap muka antara peneliti dan dari SDLB Kab. Bangkalan. Dalam metode ini wawancara dilakukan secara berulang atau berulang kali sehingga mendapatkan data yang valid.
Dalam metode pengumpulan ini, data dibedakan menjadi dua:
 Data Primer: data utama dalam penelitian ini, dalam penelitian ini data utama adalah guru yang mengajar murid SDLB Kab. Bangkalan, karena para guru tersebut mengetahui bagaimana muridnya berkomunikasi secara non verbal. Jadi narasumber dalam penelitian adalah guru
 Data sekunder: data sekunder adalah data tambahan, data sekunder dalam penelitian ini adalah referensi yang diambil dari browsing lewat internet serta buku-buku tentang komunikasi non verbal dan tentang tunarungu.
3.5 TEKNIK ANALISIS DATA
Dalam penelitian kualitatif deskriptif ini teknik analisis data lebih banyak dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data. Tahapan dalam penelitian kualitatif adalah tahap memasuki lapangan dengan grand tour dan minitour question, dan biasanya analisis datanya dengan analisis domain. Tahap ke dua adalah menentukan focus, teknik pengumpulan data dengan minitour question, analisis data dilakukan dengan analisis taksonomi. Selanjutnya pada tahap selection, pertanyaan yang digunakan adalah pertanyaan structural.
 VALIDITAS DAN RELIABILITAS PENELITIAN KUALITATIF
Uji keabsahan data dalam penelitian, sering hanya ditekankan pada uji validitas dan reliabilitas. Validitas merupakan derajad ketepatan antara data yang terjadi pada obyek penelitian dengan daya yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Dengan demikian data yang valid adalah data “yang tidak berbeda” antar data yang dilaporkan oleh peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek penelitian. Kalau dalam obyek peneltian ini makna komunikasi non verbal, maka penelti akan melaporkan juga tentang makna komunikasi non verbal.
Terdapat dua macam validitas penelitian, yaitu validitas internal dan validitas eksternal. Validitas internal berkenaan dengan derajad akurasi desain penelitian dengan hasil yang dicapai. Sedangkan validitas eksternal berkenaan dengan derajad akurasi apakah hasil penelitian dapat digeneralisaisikan atau diterapkan pada populasi di mana sampel tersebut diambil. Bila sampel penelitian representatife, instrument penelitian valid dan reliable, cara mengumpulkan dan analisis data benar, maka penelitian akan memiliki validitas eksternal yang tinggi.
Sedangkan reliabilitas berkenaan dengan derajad konsistensi dan stabilitas data atau temuan. Kalau peneliti satu menemukan dalam obyek berwarna merah, maka peneliti yang lain juga demikian. Kalau seorang peneliti dalam obyek kemarin menemukan data berwarna merah, maka sekarang atau besok juga akan berwarna merah. Intinya siapapun penelitinya data yang didapat akan sama dengan penelti-peneliti sebelumnya. Suatu data yang reliable atau konsisten akan cenderung valid, walaupun belum tentu valid. Orang yang berbohong secara konsisten akan terlihat valid, walaupun sebenarnya tidak valid.